GerSwaB Dorong Kemandirian Benih: Inovasi Empat Lawang Majukan Pertanian Lokal
.jpeg)
Gerakan Swasembada Benih atau GerSwaB menjadi salah satu inovasi unggulan Pemerintah Kabupaten Empat Lawang dalam memperkuat ketahanan pangan dan meningkatkan kemandirian petani. Inovasi ini muncul sebagai respon atas persoalan klasik yang selama ini dihadapi petani, yakni keterbatasan akses terhadap benih unggul berkualitas serta tingginya ketergantungan pada pasokan benih dari luar daerah. Melalui pendekatan yang menyeluruh, GerSwaB tidak hanya mendorong produksi benih secara lokal, tetapi juga meningkatkan kapasitas petani sebagai penangkar yang andal. Inovasi ini selaras dengan amanat Undang-Undang No. 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani serta Peraturan Menteri Pertanian No. 48 Tahun 2012 tentang Penangkaran Benih. Dengan memperkuat sektor hulu pertanian, Kabupaten Empat Lawang kini melangkah lebih jauh menuju swasembada benih yang berkelanjutan. Upaya ini juga mendukung RPJMD 2021–2026 yang menargetkan kemandirian sektor pertanian lokal sebagai motor pertumbuhan ekonomi daerah.
Permasalahan utama yang melatarbelakangi lahirnya GerSwaB adalah tingginya ketergantungan petani terhadap benih yang tidak bersertifikat dan berasal dari luar wilayah. Kondisi ini menimbulkan berbagai kerugian, mulai dari hasil panen yang rendah hingga biaya produksi yang tinggi karena harga benih unggul sering kali tidak terjangkau. Selain itu, banyak petani menggunakan benih turunan yang telah menurun kualitasnya secara genetik. Hal ini menyebabkan penurunan produktivitas yang signifikan dan berdampak pada daya saing produk pertanian lokal. Sementara itu, minimnya pelatihan dan pendampingan teknis dari pihak berwenang memperparah situasi, menjadikan petani kurang percaya diri untuk melakukan penangkaran mandiri. GerSwaB hadir sebagai solusi menyeluruh yang mengatasi hambatan teknis, kelembagaan, dan pasar dalam satu ekosistem pertanian swasembada benih. Dalam skema ini, petani bukan hanya sebagai pengguna, tetapi juga sebagai produsen benih yang tersertifikasi dan bernilai ekonomi tinggi.
Sejak diterapkan pada tahun 2023, GerSwaB berhasil menciptakan dampak yang signifikan di kalangan petani lokal. Sebanyak 12 kelompok penangkar benih dibentuk dan mendapatkan pelatihan intensif mengenai teknik seleksi varietas, isolasi, panen, dan pascapanen benih. Hasilnya, lebih dari 9 ton benih padi bersertifikat berhasil diproduksi dan didistribusikan kepada sesama petani di wilayah Kabupaten Empat Lawang. Rata-rata pendapatan tambahan petani meningkat sebesar Rp5 juta per musim tanam dari hasil usaha penjualan benih. Selain itu, tingkat ketergantungan petani terhadap benih dari luar provinsi berhasil ditekan hingga 35%. Inovasi ini tidak hanya memperkuat sektor pertanian dari segi ekonomi, tetapi juga membangun rasa percaya diri dan kemandirian di kalangan petani. GerSwaB menjadi cermin bahwa inovasi pelayanan publik tidak selalu bergantung pada digitalisasi, tetapi dapat bersumber dari penguatan kapasitas komunitas lokal secara partisipatif.
GerSwaB dinilai strategis karena mampu menjawab isu keberlanjutan dalam sektor pertanian, terutama terkait rantai pasok benih yang rentan terhadap gangguan distribusi. Dalam kondisi tertentu seperti pandemi atau bencana alam, pasokan benih dari luar sering kali terhambat, mengganggu siklus tanam petani. Dengan adanya penangkaran benih lokal, petani tidak lagi tergantung pada jadwal distribusi dan harga dari luar daerah. Selain itu, benih lokal yang dikembangkan telah disesuaikan dengan kondisi agroekologi wilayah Empat Lawang, sehingga memiliki daya tahan dan produktivitas yang lebih baik. GerSwaB juga berkontribusi pada efisiensi biaya produksi karena harga benih lokal jauh lebih terjangkau dibandingkan benih komersial. Di sisi lain, inovasi ini memperkuat peran Dinas Pertanian sebagai pembina dan fasilitator pengembangan ekonomi berbasis komunitas pertanian. Perubahan peran dari petani konsumtif menjadi petani produktif mencerminkan transformasi mindset yang didorong oleh inovasi ini.
Kebaruan GerSwaB terletak pada integrasi program edukasi, pendampingan teknis, dan penguatan kelembagaan dalam satu sistem penangkaran berbasis desa. Tidak hanya mengandalkan pelatihan, GerSwaB menyediakan sistem monitoring dan evaluasi berbasis hasil panen dan kualitas benih. Setiap tahapan penangkaran, mulai dari seleksi hingga sertifikasi, didampingi oleh penyuluh pertanian dan Balai Sertifikasi Benih. Petani yang tergabung dalam kelompok penangkar juga mendapatkan akses pasar melalui koperasi tani dan jejaring distribusi benih lokal. Dengan demikian, produk benih bersertifikat tidak hanya digunakan secara internal, tetapi juga dipasarkan ke desa-desa lain di Empat Lawang. Aspek kewirausahaan turut diperkuat dengan pelatihan manajemen usaha benih dan pembukuan sederhana. Pendekatan ini membentuk petani yang tidak hanya andal secara teknis, tetapi juga mampu mengelola usaha secara profesional.
Proses implementasi GerSwaB dimulai dengan pemetaan wilayah potensial untuk penangkaran benih dan identifikasi petani yang memiliki minat dan lahan sesuai standar. Sosialisasi program dilakukan secara tatap muka oleh penyuluh pertanian di tiga kecamatan awal, yakni Lintang Kanan, Pasemah Air Keruh, dan Muara Saling. Setelah itu, dilakukan pembentukan kelompok penangkar yang difasilitasi dengan pelatihan teknis dan bantuan sarana produksi. Tahapan produksi dilaksanakan sesuai standar sertifikasi nasional dengan pengawasan ketat. Pascapanen, benih dikeringkan dan diuji laboratorium untuk menjamin mutu dan daya tumbuh. Sertifikat diterbitkan sebagai bukti bahwa benih layak edar dan dapat diperjualbelikan. Distribusi dilakukan melalui koperasi, toko pertanian desa, dan mitra perdagangan lokal yang telah menjalin kontrak pembelian. Evaluasi dilakukan setiap akhir musim tanam berdasarkan hasil panen, kepuasan petani pengguna, serta kinerja kelompok penangkar.
Keberhasilan GerSwaB dalam menciptakan rantai pasok benih mandiri turut memperkuat ketahanan pangan dari sisi hulu. Dengan adanya penangkar lokal, siklus tanam menjadi lebih fleksibel karena petani tidak lagi menunggu ketersediaan benih dari luar daerah. Selain itu, varietas benih yang ditangkar umumnya telah disesuaikan dengan kondisi agroklimat setempat, sehingga adaptasinya lebih tinggi dan hasil panen lebih stabil. Petani juga memiliki keleluasaan dalam memilih varietas sesuai kebutuhan pasar dan preferensi lokal, bukan sekadar mengikuti pasokan yang tersedia. Situasi ini menciptakan kemandirian yang menguntungkan dari aspek teknis maupun ekonomi. Dalam jangka panjang, sistem ini mendorong regenerasi petani yang tidak hanya mahir bertani, tetapi juga paham wirausaha pertanian. Ketahanan pangan pun tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi juga dimiliki oleh komunitas. GerSwaB telah memperlihatkan bahwa partisipasi aktif petani adalah kunci dari pertanian yang resilien.
Partisipasi masyarakat dalam program GerSwaB juga membawa perubahan sosial yang signifikan. Dalam kelompok penangkar benih, petani belajar bekerja sama dalam sistem yang lebih tertib dan terorganisir. Proses pengambilan keputusan dilakukan secara kolektif dan demokratis, sehingga mendorong keterlibatan aktif semua anggota kelompok. Kegiatan musyawarah rutin menjadi ruang belajar bersama, tidak hanya soal teknik pertanian tetapi juga soal manajemen dan perencanaan usaha. Hal ini membangun modal sosial yang kuat di tingkat desa dan menumbuhkan budaya gotong royong yang berorientasi pada hasil. Keberadaan kelompok juga memudahkan akses terhadap program pemerintah lainnya, seperti bantuan alat dan mesin pertanian atau akses permodalan dari lembaga keuangan. Petani merasa lebih percaya diri karena memiliki identitas sebagai penangkar benih yang diakui. Proses ini memperlihatkan bahwa inovasi pertanian juga dapat menjadi wahana pemberdayaan sosial yang berkelanjutan.
GerSwaB juga telah membuka peluang kerja baru di sektor pertanian yang sebelumnya belum tergarap secara optimal. Misalnya, dalam proses pengemasan dan penyimpanan benih, dibutuhkan tenaga kerja tambahan dari warga sekitar yang terlibat sebagai pekerja lepas musiman. Selain itu, pengangkutan, distribusi, hingga promosi benih lokal membuka ruang bagi pelibatan pemuda desa. Beberapa di antaranya bahkan membentuk unit usaha kecil yang khusus menjual benih bersertifikat dan alat bantu pertanian ringan. Hal ini menciptakan efek ekonomi berganda yang memperkuat daya beli masyarakat. Tak hanya meningkatkan pendapatan, program ini juga mengurangi angka pengangguran di desa yang sebelumnya mengandalkan pekerjaan musiman. Dengan skema yang inklusif, GerSwaB menjadi pintu masuk untuk menyatukan pertanian dan kewirausahaan desa. Dampaknya tidak hanya dirasakan oleh petani penangkar, tetapi juga oleh keluarga dan masyarakat sekitar yang terlibat dalam ekosistem tersebut.
Sebagai bagian dari strategi pembangunan berkelanjutan, Pemerintah Kabupaten Empat Lawang berencana memperluas cakupan GerSwaB hingga ke seluruh kecamatan pada tahun 2025. Rencana ini mencakup pembentukan 20 kelompok penangkar baru dengan target produksi benih sebesar 15 ton per musim tanam. Dukungan anggaran dari APBD dan kolaborasi dengan swasta menjadi kunci keberhasilan perluasan ini. Selain itu, Dinas Pertanian akan membentuk tim teknis lintas sektor yang terdiri dari penyuluh, akademisi, dan praktisi pertanian untuk memperkuat kualitas pendampingan. Strategi ini bertujuan agar GerSwaB tidak hanya menjadi program tahunan, tetapi menjadi gerakan jangka panjang yang tertanam dalam budaya bertani masyarakat Empat Lawang. Rencana tersebut juga mencakup pengembangan laboratorium mini uji benih di tingkat kecamatan sebagai bentuk desentralisasi layanan. Pemerintah daerah percaya bahwa inovasi ini mampu mengangkat citra pertanian Empat Lawang sebagai yang mandiri dan tangguh. Langkah ini sekaligus menunjukkan bahwa keberlanjutan pertanian adalah prioritas utama dalam pembangunan daerah.
Penguatan kelembagaan juga menjadi pilar utama dalam keberlanjutan GerSwaB. Pemerintah daerah mendorong terbentuknya koperasi petani yang tidak hanya mengelola hasil panen, tetapi juga memfasilitasi transaksi benih, penyimpanan, serta penyaluran modal usaha. Koperasi ini diharapkan menjadi lembaga bisnis desa yang sehat dan transparan. Dalam jangka menengah, koperasi akan bermitra dengan distributor benih nasional untuk memperluas jangkauan pemasaran. Kemitraan strategis ini menjadi peluang besar agar benih lokal Empat Lawang dapat dikenal dan digunakan di daerah lain. Melalui tata kelola koperasi yang akuntabel, seluruh keuntungan usaha dikembalikan kepada anggota dalam bentuk dividen atau bantuan sarana produksi. Pendekatan ini memperkuat rasa kepemilikan petani terhadap program dan mendorong pertumbuhan ekonomi desa berbasis pertanian. GerSwaB bukan hanya program teknis, tetapi juga model kelembagaan yang membentuk ekosistem pertanian lokal yang matang.
Keberhasilan GerSwaB juga menarik perhatian dari berbagai pihak, termasuk pemerintah provinsi, akademisi, dan organisasi pertanian lainnya. Beberapa daerah telah melakukan studi tiru untuk mengadaptasi konsep GerSwaB sesuai karakteristik wilayah masing-masing. Dinas Pertanian Empat Lawang aktif memfasilitasi kunjungan belajar dan berbagi praktik baik dengan kabupaten lain di Sumatera Selatan. Hal ini memperkuat posisi Empat Lawang sebagai salah satu pelopor inovasi pertanian berbasis komunitas di tingkat regional. Publikasi dan dokumentasi keberhasilan GerSwaB telah dimasukkan dalam sistem informasi inovasi daerah dan diikutsertakan dalam kompetisi inovasi pelayanan publik. Pengakuan terhadap inovasi ini menjadi motivasi tambahan bagi petani dan perangkat daerah untuk terus mengembangkan model GerSwaB. Dengan pendekatan partisipatif, kolaboratif, dan berbasis data, GerSwaB tidak hanya menjadi solusi lokal, tetapi juga inspirasi nasional dalam mewujudkan kedaulatan pangan. Pemerintah daerah optimis bahwa inovasi ini akan terus tumbuh dan beradaptasi menjawab tantangan zaman.
Inovasi GerSwaB juga memberikan kontribusi signifikan terhadap peningkatan nilai Indeks Ketahanan Pangan Daerah (IKPD) Kabupaten Empat Lawang. Pada tahun 2023, nilai IKPD meningkat 7 poin dibandingkan tahun sebelumnya, seiring dengan meluasnya jangkauan distribusi benih lokal ke enam kecamatan. Keberhasilan ini menjadi indikator bahwa swasembada benih bukan hanya berdampak pada sisi produksi, tetapi juga pada ketahanan pangan masyarakat secara umum. Masyarakat petani merasakan langsung dampak positif dalam bentuk peningkatan hasil panen dan efisiensi biaya usaha tani. Selain itu, munculnya kesadaran baru mengenai pentingnya benih bersertifikat turut memperkuat budaya pertanian berbasis mutu. Hal ini menjadikan GerSwaB sebagai inovasi yang tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga transformatif dari sisi sosial dan ekonomi. Dampaknya tidak terbatas pada kelompok penangkar saja, melainkan meluas ke seluruh ekosistem pertanian desa.
Melihat keberhasilan tersebut, Pemerintah Kabupaten Empat Lawang berencana untuk mereplikasi program GerSwaB di sektor hortikultura dan tanaman pangan lainnya. Pengembangan penangkaran benih sayuran, palawija, dan buah lokal mulai dirintis di beberapa kecamatan yang memiliki agroklimat mendukung. Dengan pendekatan yang sama, yakni pembinaan teknis, sertifikasi, dan distribusi berbasis koperasi, diharapkan petani hortikultura juga dapat merasakan manfaat yang sama seperti petani padi. Perluasan cakupan ini sekaligus memperkuat posisi Empat Lawang sebagai kabupaten pelopor swasembada benih lintas komoditas di Sumatera Selatan. Langkah strategis ini mendapat dukungan penuh dari pemerintah provinsi, yang melihat potensi besar dari pendekatan berbasis komunitas dalam menjawab tantangan pangan masa depan. Dengan semangat gotong royong, GerSwaB terus bergerak sebagai gerakan pertanian yang membawa perubahan nyata dan berkelanjutan.